[ad_1]
Sumber gambar, Getty Images
Wildebeest dapat membantu mengatasi perubahan iklim, menurut studi.
Dalam upaya untuk mengatasi perubahan iklim, solusi seperti energi terbarukan dan perlindungan hutan seringkali menjadi hal pertama yang menjadi fokus masyarakat. Namun, sekelompok ilmuwan mengatakan ada gagasan lain yang terabaikan dan bisa memberikan perubahan besar, yakni meningkatkan populasi hewan liar.
Lebih dari satu juta hewan wildebeest (Connochaetes taurinus) hidup liar di padang rumput Serengeti yang luas di Afrika Timur. Wildebest, disebut juga gnu adalah jenis antelop terbesar.
Namun jumlah itu tidak selalu seperti ini dan menurut profesor dari Universitas Yale, Oswald Schmitz, cerita tentang antelop besar ini menunjukkan peran dan dampak dari hewan dalam membantu mengatasi jumlah karbon di atmosfer.
Di paruh pertama abad ke-20, perburuan liar dan penyakit menghantam kawanan wildebeest sehingga jumlah mereka turun drastis menjadi sekitar 300.000 ekor.
Dengan berkurangnya hewan yang memakan rumput maka jumlah tumbuhan itu dan jenis tanaman yang lain meningkat, sehingga menjadi “bahan bakar” bagi kebakaran hutan yang lebih sering dan hebat.
Pada gilirannya, kebakaran yang besar itu melepaskan CO2 dan Serengeti menjadi sumber karbon.
Kemudian, dari tahun 1960-an, populasi wildebeest mulai pulih. Sekarang, terdapat setidaknya 1,2 juta ekor di Serengeti. Mereka memakan tumbuh-tumbuhan dalam jumlah besar setiap hari – tanaman tidak lagi tersedia untuk memicu kebakaran.
Hasilnya, Serengeti kini bertransformasi menjadi wilayah “penyerap karbon”, nama yang diberikan untuk reservoir seperti hutan, yang menyerap lebih banyak karbon daripada yang dilepaskan, sehingga membantu menurunkan konsentrasi CO2 di atmosfer.
Sumber gambar, Getty Images
Dengan memakan rumput, wildebeest membantu mengurangi jumlah kebakaran hutan di Serengeti.
Sekelompok peneliti, dalam sebuah studi di tahun 2009, menyimpulkan bahwa setiap kali jumlah hewan bertambah 100.000 ekor maka jumlah karbon yang disimpan di Serengeti meningkat 15%.
Schmitz dan sekelompok peneliti itu menggunakan wildebeest sebagai contoh untuk menekankan bahwa peningkatan populasi hewan liar dapat menjadi cara yang sama pentingnya dengan solusi-solusi lain dalam mengatasi perubahan iklim.
Mereka baru-baru ini menerbitkan sebuah tulisan di jurnal The Nature Climate Change dengan menggunakan penelitian selama dua dekade terakhir untuk memperkirakan dampak dari “spesies-spesies kunci” dalam menyerap karbon.
Mereka berkesimpulan bahwa “melindungi atau memulihkan populasi [hewan] dapat memfasilitasi secara kolektif penangkapan tambahan sebesar 6,41 miliar ton karbon dioksida setiap tahunnya”.
Untuk menempatkan angka ini dalam konteksnya, para ilmuan iklim memperkirakan lebih dari 10 miliar ton CO2 perlu dihilangkan dari atmosfer kita setiap tahun pada 2050 untuk menahan kenaikan suhu di bawah 1,5C.
Menghidupkan siklus karbon
“Banyak spesies hewan melakukan kontrol yang sangat kuat terhadap siklus karbon,” kata Schmitz – sebuah kesempatan yang menurutnya terbuang sia-sia.
Dia menciptakan konsep “menghidupkan siklus karbon” untuk menekankan peran dari hewan-hewan liar dalam meningkatkan kemampuan ekosistem menyimpan karbon.
Schimitz mengkhususkan pada sembilan kelompok hewan utama yang dapat memberikan perubahan besar: ikan laut (marine fish), paus, hiu, serigala abu-abu, wildebeest, berang-berang laut, musk oxen (mamalia mirip bison), gajah hutan Afrika dan bison Amerika.
Akademisi itu mengatakan ikan laut dapat memberikan dampak terbesar, dan memperkirakan bahwa mereka dapat membantu menyerap hingga lima miliar ton CO2 per tahun.
Sumber gambar, Getty Images
Beberapa spesies hiu dapat membantu mengendalikan populasi ikan.
Hewan-hewan ini dapat menangkap karbon dengan berbagai cara, termasuk memakan plankton kaya karbon di dekat permukaan laut dan melepaskan butiran kotoran yang dapat tenggelam dengan cepat.
Selain itu, ketika ikan mati, tubuh mereka yang menyimpan karbon tenggelam ke dasar laut.
Para ilmuwan telah menemukan bahwa hiu memberikan dampak positif pada siklus karbon laut dengan cara yaitu memakan ikan herbivora atau mengontrol wilayah tempat tinggal mereka.
Artinya, hiu membatasi kemampuan mangsanya untuk memakan tumbuhan laut, yang penting untuk penyerapan karbon.
Sayangnya, populasi hiu telah menurun drastis dalam beberapa dekade terakhir akibat penangkapan ikan komersial.
Pompa paus
Paus juga disebut memiliki peran yang tak kalah pentingnya. Mereka adalah salah satu makhluk terbesar di Bumi, sehingga menyimpan karbon dalam jumlah besar di dalam tubuhnya.
Ketika mereka mati dan tenggelam ke dasar lautan, mereka dapat bertahan di kedalaman selama berabad-abad, namun mereka juga memberikan kontribusi penting lainnya terhadap penyerapan karbon sepanjang hidup mereka melalui proses yang disebut pompa paus.
Paus yang mencari makan jauh di dalam lautan perlu berenang ke permukaan untuk bernapas dan buang kotoran.
Kotoran mereka kaya akan nutrisi dan bertindak sebagai pupuk, merangsang pertumbuhan fitoplankton – tanaman mikroskopis yang mengonsumsi karbon dioksida seperti pohon di hutan.
Namun seperti hiu, populasi paus tidak lagi seperti dulu dan enam dari 13 spesies paus besar saat ini diklasifikasikan sebagai terancam punah atau rentan, menurut badan amal konservasi WWF.
Predator dan ‘tukang kebun’
Selain di lautan, pengaruh hewan di darat juga signifikan, kata Schmitz.
Dalam penelitian sebelumnya yang diterbitkan pada tahun 2016, ia melaporkan bahwa serigala yang hidup di hutan boreal Kanada, salah satu wilayah penyerap karbon terpenting di dunia, memiliki pengaruh langsung terhadap kapasitas penyimpanan karbon di hutan itu.
Mereka melakukan hal ini dengan mengendalikan perilaku mencari makan dan kelebihan populasi hewan herbivora, sehingga mempengaruhi jenis dan volume tanaman yang tumbuh.
Namun hal ini merupakan keseimbangan yang rumit, dan ia menunjukkan bahwa ekosistem yang berbeda sebenarnya dapat memperoleh manfaat dengan memiliki lebih banyak herbivora berukuran besar.
Ia menggambarkan gajah hutan Afrika sebagai ‘tukang kebun’ yang memicu penyerapan karbon di lingkungan tropis. Aktivitas gajah mencari makan dan buang air besar merangsang pertumbuhan pohon-pohon besar yang dapat menyerap lebih banyak karbon dibandingkan pohon-pohon kecil.
Di Arktik, Musk oxen memiliki “pengaruh besar” dalam mengatasi perubahan iklim dengan melindungi tanah beku, katanya.
“Dengan memakan rumput dan menginjak-injak tanah, mereka melindungi dari pencairan lapisan es. Jika lapisan es mencair, hal ini dapat melepaskan jutaan hingga miliaran ton metana,” jelasnya – metana adalah gas rumah kaca yang lebih kuat dibandingkan CO2.
“Seperti yang ditunjukkan oleh ilmu pengetahuan, dinamika penyerapan dan penyimpanan karbon berubah secara mendasar seiring dengan ada atau tidaknya hewan,” katanya.
Sumber gambar, Getty Images
Marine fish play a crucial role helping the oceans store carbon
Dr Cristina Banks-Leite, ahli ekologi konservasi di Imperial College London, setuju dengan kalkulasi Schmitz, namun menurutnya poin terpenting dari tim ini adalah menyoroti peran penting yang dimainkan oleh hewan.
“Di hutan Brasil, misalnya, sekitar 80% pohon bergantung pada hewan untuk penyebaran benih atau penyerbukan,” jelasnya.
“Kita bisa melihat bagaimana pohon-pohon itu tidak akan bertahan lama tanpa hewan-hewan tersebut.”
‘Bukan obat mujarab’
Schmitz dan rekan-rekan penelitinya menyadari bahwa peningkatan jumlah satwa liar bukanlah solusi universal dan hal ini menghadirkan tantangan, seperti bagaimana memastikan hewan itu dapat hidup berdampingan dengan manusia.
Dan Anda tidak dapat berasumsi bahwa karena makhluk hidup itu baik bagi suatu ekosistem, maka mereka juga akan baik bagi ekosistem yang lain.
Misalnya, meskipun serigala mungkin mendapat manfaat dari hutan boreal, Schmitz menunjukkan bahwa kehadiran mereka di padang rumput Amerika Utara sebenarnya dapat mengurangi jumlah karbon yang tersimpan di sana.
Serigala mempengaruhi jumlah populasi rusa, dan lanskap ini mendapat manfaat dari kotoran rusa yang menyuburkan tanah dan merangsang pertumbuhan rumput.
Sumber gambar, Getty Images
Serigala adalah contoh bagaimana peningkatan populasi dapat memberikan dampak positif dan negatif pada lingkungan yang berbeda
Ilmuwan dari Stanford dan Princeton juga menemukan bahwa gajah yang mencari makan di sabana Afrika Selatan – dibandingkan di hutan – berpotensi menurunkan kapasitas penyerapan karbon karena mereka merusak vegetasi.
Dr Christopher Sandom, pakar hewan liar dan biologi di Universitas Sussex, memperingatkan bahwa menambah populasi hewan bukanlah solusi yang mudah.
“Penelitian telah menunjukkan bahwa alam adalah serangkaian proses rumit yang saling terkait yang mungkin tidak memberikan hasil yang diharapkan,” katanya.
“Peningkatan kembali tidak bisa dilihat sebagai obat mujarab. Kita tidak boleh hanya berpikir bahwa alam dapat menyedot semua karbon dan tidak mengambil tindakan secara menyeluruh untuk mengurangi emisi buatan manusia.”
Namun Sandom setuju bahwa penelitian yang dipimpin oleh Schmitz mengingatkan kita akan pentingnya peran hewan dalam mengatasi perubahan iklim.
“Hewan perlu dilibatkan dalam diskusi ini lebih dari sebelumnya,” katanya. “Menanam pohon memang penting, tapi alam menunjukkan mereka membutuhkan hewan untuk membantunya tumbuh.”
Ilustrasi oleh Filipa Silverio.
[ad_2]
Source link