[ad_1]
Pengamat dan praktisi industri umrah serta haji menyebut besaran biaya penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024 yang diusulkan Kementerian Agama sebesar Rp105 juta terlalu tinggi dan memberatkan calon jemaah haji.
Menurut mereka, Kementerian Agama dan Komisi VIII DPR harus kembali meninjau komponen biaya yang bisa ditekan sehingga kenaikannya lebih moderat di kisaran 1%-3%.
Dalam penjelasan di DPR beberapa waktu lalu, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag, Hilman Latief, mengatakan kenaikan gaji tahun 2024 dipengaruhi sejumlah faktor antara lain kenaikan kurs dan penambahan pelayanan. Akan tetapi, katanya, usulan itu akan dibahas lebih lanjut.
Sementara, beberapa calon jemaah haji menyatakan keberatan dengan kenaikan biaya itu dan berancang-ancang menunda ibadahnya ke Tanah Suci jika tak memiliki dana.
Apa penyebab biaya haji naik?
Kementerian Agama mengusulkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1445/2024 sebesar Rp105 juta per jemaah.
Angka itu naik dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp90 juta.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag, Hilman Latief, menjelaskan ada sejumlah faktor yang menjadi penyebab kenaikan biaya.
Seperti kenaikan kurs, baik Dolar maupun Riyal serta penambahan layanan.
“Biaya Haji 2023 disepakati dengan asumsi kurs 1 USD sebesar Rp15.150 dan 1 SAR sebesar Rp4.040. Sementara usulan biaya haji 2024 disusun dengan asumsi kurs 1 USD sebesar Rp16.000 dan 1 SAR adalah Rp4.266,” kata Hilman dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR, Selasa (14/11).
Selisih kurs ini, sambungnya, berdampak pada kenaikan biaya layanan yang diklasifikasikan dalam tiga jenis.
Pertama, layanan yang harganya tetap atau sama dengan tahun lalu yakni transportasi bus salawat.
Kemenag mengusulkan biaya penyediaan transportasi bus salawat tahun ini sama dengan 2023. Namun asumsi nilai kursnya berbeda sehingga ada kenaikan dalam usulan.
Kedua, layanan yang harganya memang naik dibanding tahun lalu semisal akomodasi di Madinah dan Makkah.
Ketiga, layanan yang harganya naik dan volumenya bertambah seperti konsumsi di Makkah.
“Harga konsumsi per satu kali makan pada tahun lalu dibanding tahun ini juga naik. Kenaikan bertambah seiring adanya perbedaan kurs,” jelasnya.
Dalam rapat bersama Komisi VIII DPR beberapa waktu lalu, Kemenag menjabarkan rincian 14 komponen biaya haji reguler tahun 2024.
Selain yang sudah disebutkan yakni pelayanan akomodasi Rp26 juta, transportasi sebesar Rp4,9 juta, dan konsumsi sebesar Rp9 juta, ada juga biaya penerbangan sebesar Rp36 juta.
Kemudian pelayanan di Arafah, Muzdalifah, dan Mina yang mencapai Rp19 juta.
Ada pula biaya hidup Rp3,2 juta, perlindungan sebesar Rp226.491.
Lalu pelayanan di embarkasi atau debarkasi diusulkan Rp216.822 serta pelayanan keimigrasian Rp45.947.
Disebutkan juga premi asuransi dan perlindungan lainnya Rp175.000 dan biaya dokumen perjalanan yang mencapai Rp1,7 juta.
Terakhir, biaya pembinaan jemaah haji di Indonesia dan di Arab Saudi sebesar Rp1,2 juta; biaya pelayanan umum di dalam negeri dan di Arab Saudi kisarannya Rp1,4 juta; biaya pengelolaan BPIH Rp319.375.
Hilman Latief mengatakan kepastian biaya ibadah haji tersebut masih menunggu hasil kerja Panja yang akan dibawa ke Rapat Kerja Komisi VIII DPR.
Nantinya akan disepakati pula berapa biaya yang harus dibayar jemaah dan berapa yang bersumber dari nilai manfaat.
Untuk diketahui calon jemaah haji tidak akan membayar sepenuhnya BPIH.
Mengacu rata-rata BPIH 1444/2023 sebesar Rp90 juta, calon jemaah membayar rata-rata Rp49 juta atau 55,3% dan sisanya dari nilai manfaat yang dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) –atau yang biasa disebut subsidi.
“Jadi berapa biaya haji 2024, masih menunggu hasil Panja. Tahun lalu jemaah membayar rata-rata Rp49 juta, berapa yang dibayar tahun ini semoga pemerintah dan DPR bisa merumuskan yang terbaik bagi jemaah haji Indonesia,” ucap Hilman.
Calon jemaah haji keberatan
Akan tetapi kabar soal rencana kenaikan biaya ibadah haji membuat calon jemaah haji ketar-ketir.
Salah satunya calon haji asal Solo, Habil Khoirudin.
Dia mengaku keberatan jika biayanya membengkak sampai Rp105 juta per jemaah.
“Kalau saya nggak setuju. Kalau bisa naik ya seperti tahun kemarin tambah sedikit-sedikit aja,” imbuh Habil yang sehari-hari berdagang pakaian dan batik di Beteng Trade Center (BTC) Solo, kepada wartawan Fajar Shodiq yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (16/11).
Habil berkata sudah mendaftar untuk menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci pada 2011 silam.
Hanya saja sedemikian lamanya daftar tunggu antrean membuat dia dan istrinya baru akan berangkat pada musim haji 2024 mendatang.
“Sudah 12 tahun azas manfaatnya bagaimana? Dari awal mendaftar sampai sekarang biayanya naik terus. Awalnya mendaftar Rp25 juta, naik terus.”
“Tahun lalu, biaya haji yang dibayar jemaah Rp52 juta, kalau tahun ini mau naik berapa lagi? Kenaikan memang wajar, tapi jangan terlalu ekstrem.”
Jika usulan itu direstui DPR, Habil harus merogoh tabungannya untuk menutup kenaikan biaya haji bersama sang istri.
Tetapi dia belum tahu apakah tabungannya cukup atau tidak. Satu-satunya pilihan adalah menjual aset kendaraan miliknya.
“Kalau ada, ya daftar. Kalau enggak ya tunggu belakang-belakang. Saya kira yang akan menunda banyak. Tahun lalu, ada kenaikan biaya pada mundur karena tidak mampu,” keluhnya.
Calon jemaah haji lainnya di Kecamatan Pamekasan, Jawa Timur yaitu Mohammad Baihaqi juga keberatan dengan usulan kenaikan biaya itu.
Pria berusia 45 tahun yang bekerja sebagai pedagang ini berkata melihat kondisi ekonominya saat ini sepertinya tidak mungkin menambah ongkos haji sampai Rp15 juta.
“Untuk kondisi saat ini sepertinya tidak sanggup, tapi soal ibadah haji ini kalau sudah dipanggil sama Allah ya pasti dimampukan, tapi melihat kondisi saat ini kalau disuruh menambah lagi sepertinya tidak memungkinkan,” ujarnya.
Dia meminta agar Kemenag dan DPR menghitung ulang komponen biaya haji dengan seksama.
Seandainya ada komponen akomodasi dan konsumsi yang dianggap terlalu mewah sebaiknya dipangkas.
“Hal-hal yang tidak penting sebaiknya dikepras atau dipangkas seperti hotel jangan terlalu mewah. Kita di sana bukan mau enak-enakan, kita di sana mau beribadah. Ambil saja hotel yang biasa karena jemaah tidak 24 jam di hotel tapi di Masjidil Haram atau di mana,” ungkapnya kepada wartawan Mustopa yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
“Terus konsumsi jangan terlalu mewah juga, biasa-biasa saja. Mungkin di situ bisa dipangkas sehingga tidak memberatkan.”
Mohammad Baihaqi berharap BPIH yang ditanggung calon jemaah haji nantinya tak lebih dari Rp60 juta.
Sebab tak semua calon jemaah haji ekonominya membaik pasca pandemi Covid-19.
Ia sudah menabung untuk ibadah haji sejak 2016 dan pada tahun 2020 mendapat nomor porsi haji kendati pemberangkatannya belum diketahui.
Rencananya dia bakal berangkat bersama istri dan enam orang keponakannya.
Berapa kenaikan biaya haji yang tidak memberatkan?
Panitia Kerja (Panja) Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Komisi VIII DPPR, John Kenedy Aziz, mengatakan panja menolak usulan BPIH dari Kementerian Agama itu.
Untuk itulah panja, sambungnya, akan berupaya mencari informasi sedalam-dalamnya tentang komponen biaya apa saja yang bisa ditolerir.
Menurut dia, semestinya kenaikan haji sekitar 1%-3% dari biaya tahun 2023.
“Kalau masih di bawah Rp95 juta saya pikir cukup toleran karena pertimbangannya hanya soal nilai tukar rupiah,” ucapnya.
Saat ini panja, katanya, sedang membahas setiap komponen biaya dan mengecek harganya ke lapangan.
Nanti hasil kesepakatan panja akan dibawa ke rapat kerja Komisi VIII DPR dan Kemenag untuk disepakati sebagai biaya haji 2024.
Ketua Komnas Haji dan Umroh, Mustolih Siradj, menyebut kenaikan biaya ibadah haji tidak bisa dihindari karena berbagai faktor.
Mulai dari inflasi, kebijakan pemerintah Arab Saudi yang beberapa tahun terakhir menaikkan biaya layanan, avtur, akomodasi serta transportasi.
Belum lagi, kata dia, perang antara Israel-Hamas yang pasti berdampak pada biaya penyelenggaraan ibadah haji.
Hanya saja dia meminta Kemenag dan DPR meninjau ulang besaran biaya komponen yang diusulkan tersebut dan mempertimbangkan kondisi perekonomian masyarakat yang belum pulih sepenuhnya setelah pandemi Covid-19.
“Dalam kondisi pasca pandemi kemampuan masyarakat terbatas dan pemerintah juga DPR mesti mencari kenaikan yang moderat,” ucapnya.
“Kalaupun naik seminim mungkin yang tidak terlalu membebani calon jemaah haji.”
“Katakanlah di angka Rp90 juta tahun lalu, kalau naik tipis-tipis antara Rp3-5 juta masih masuk akal. Tapi kalau Rp15 cukup berat.”
Dia juga mengingatkan kenaikan BPIH harus berbanding lurus dengan pelayanan yang diberikan jemaah haji.
Praktisi industri umrah dan haji, Firman Taufik, sependapat.
Dia khawatir kenaikan biaya ibadah haji yang terlalu besar bakal membuat calon jemaah haji menunda keberangkatan atau malah mundur.
Jika itu terjadi merugikan Kemenag.
Itu mengapa ia mengusulkan agar biaya-biaya pelayanan yang klaimnya paling membebani seperti penerbangan dipangkas
“Kenapa dengan penerbangan yang sama dan rute yang sama ketika umroh dan haji nilainya berkali-kali lipat?”
“Sekarang harga tiket musim umroh sekitar Rp14-17 juta, kalau merujuk biaya dari Kemenag bisa Rp30 juta dengan rute dan maskapai yang sama. Padahal penumpangnya lebih banyak, kan tidak logis. Harusnya kalau yang pakai banyak harganya turun…” ujar Firman kepada BBC News Indonesia.
Komponen biaya lain yang dikritisi adalah akomodasi.
Dia berkata, kalau pemerintah bisa menyewa hotel atau penginapan jemaah haji jauh-jauh hari atau membuat kontrak tahunan maka biayanya bisa ditekan.
Seperti yang pemerintah Malaysia lakukan, katanya.
“Tapi akan terbentur masalah regulasi, anggaran, akhirnya diambil keputusan minus beberapa bulan untuk sewa hotel, ya tinggi lah harganya.”
Kemudian opsi komponen yang juga bisa mengurangi biaya adalah durasi hari haji dari 45 hari menjadi 30 hari.
[ad_2]
Source link