Jokowi Akan Bertemu Joe Biden, Masyarakat Sipil: Harus Fokus Penghentian Batu Bara

[ad_1]

TEMPO.CO, Jakarta – Presiden Joko Widodo atau Jokowi diminta memprioritaskan pembahasan dekarbonisasi industri nikel, pemenuhan HAM dan pemensiunan PLTU batu bara. Agenda itu menyikapi rencana pertemuan Jokowi dengan Presiden AS, Joe Biden pada 13 November 2023. 

Organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Trend Asia dan Climate Rights International meminta agar Jokowi memanfaatkan pertemuan itu untuk mengatasi masalah perubahan iklim di Indonesia. 

“Presiden Jokowi dan Presiden Biden perlu bekerja sama untuk melakukan dekarbonisasi industri nikel dan mempensiunkan PLTU dalam sistem on dan off-grid di Indonesia agar menghindari bencana iklim,” kata Krista Shennum, peneliti dari Climate Rights International, melalui keterangan resminya, Jumat, 10 November 2023. 

Menurut Krista, industri nikel di Indonesia bisa menjadi bom waktu jika masih menggunakan PLTU Captive yang menggunakan bahan bakar batu bara, sehingga perlu dilakukan dekarbonisasi untuk mewujudkan komitmen pemerintah mengatasi perubahan iklim. 

“Akibat penggunaan batu bara dalam jumlah yang sangat besar, industri nikel di Indonesia menjadi bom waktu bagi terciptanya bencana iklim, tetapi hal tersebut masih bisa diubah arahnya dan menjadi contoh baik bagi negara lain dalam melakukan transisi ke energi terbarukan,” kata Krista. 

Krista mengatakan, kapasitas PLTU Captive, akan terus bertambah. Hingga tahun 2030, Indonesia diproyeksikan akan memiliki lebih dari 30 GW PLTU Captive setara dengan pemakaian batu bara di seluruh Polandia per tahun. Hilirisasi nikel dengan batu bara jelas-jelas bertentangan dengan dekarbonisasi yang saat ini gencar dilakukan di Indonesia. 

“Salah satu peluang yang bisa dilakukan Indonesia untuk melakukan dekarbonisasi di sektor energi, termasuk PLTU Captive, adalah melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai USD 20 miliar. Kemitraan ini dilakukan antara Pemerintah Indonesia dengan 10 negara dan Uni Eropa yang tergabung dalam International Partners Group (IPG), dan saat ini IPG dipimpin oleh Amerika Serikat dan Jepang,” kata Krista. 

Namun, lanjut Krista, saat ini skema JETP yang dari IPG, hanya 0,8 persen atau USD 153,8 juta yang diberikan secara cuma-cuma atau hibah. Sisanya, sebesar USD 11,5 miliar, Indonesia harus mencicil pengembaliannya karena diberikan sebagai pinjaman. 

Iklan

Untuk itu, Krista mengatakan, dibutuhkan ketegasan Presiden Jokowi dalam menego Presiden Joe Biden agar menambah besaran dana hibah JETP. 

“AS seharusnya tidak membebani negara berkembang seperti Indonesia dengan hutang baru untuk transisi energi. Sehingga dalam pendanaan JETP ini porsi hibah harus dinaikkan untuk membantu Indonesia mewujudkan transisi energi,” kata Krista. 

Sementara itu, Manajer Riset di Trend Asia, Zakki Amali, mengatakan dalam melakukan transisi energi, penting untuk menghormati hak-hak masyarakat setempat dan setiap pendanaan internasional yang di dalamnya harus mencakup perlindungan terhadap hak asasi manusia dan lingkungan untuk proyek energi terbarukan. 

“Rencana untuk mendukung dekarbonisasi di Indonesia harus memperhitungkan semua sumber emisi di sektor energi, termasuk PLTU Captive. Dekarbonisasi harus mencakup penghormatan terhadap hak-hak masyarakat setempat dan tidak mengikat Indonesia dalam utang puluhan tahun.” kata Zakki.

Presiden Jokowi direncanakan akan terbang ke Amerika Serikat untuk menemui Presiden Joe Biden di Gedung Putih, AS, pada Senin, 13 November 2023 mendatang. Pertemuan itu digelar sebelum agenda Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di San Francisco, AS. 

Diperkirakan, kedua kepala negara itu akan mendiskusikan perdagangan mineral untuk transisi energi dan dukungan kepada Indonesia dalam melakukan transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan.

Pilihan Editor: Eddy Hiariej Belum Terima SPDP, Ini Kata KPK



[ad_2]

Source link

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *