[ad_1]
Sejumlah rumah sakit dan fasilitas medis utama di Gaza kewalahan dan berhenti beroperasi ketika perang Israel-Hamas bertambah sengit.
Fokus perhatian tertuju pada Al-Shifa, rumah sakit terbesar di Gaza. Di RS ini, ribuan orang terjebak akibat pertempuran sekitar.
Namun, fasilitas kesehatan lain juga melaporkan kekurangan pasokan dan listrik karena pertikaian terus berlangsung.
Israel mengeklaim mereka tidak menargetkan rumah sakit secara langsung tetapi mengakui adanya “bentrokan” di sekitar Al-Shifa dan fasilitas lainnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan 36 fasilitas kesehatan termasuk 22 rumah sakit rusak sejak perang dimulai pada 7 Oktober, dan hanya segelintir yang sekarang masih beroperasi.
Berikut apa yang diketahui BBC tentang situasi di sejumlah fasilitas kesehatan utama di Gaza bagian utara.
Rumah Sakit Al-Shifa, Kota Gaza
WHO mengatakan pada Minggu (12/11) bahwa Al-Shifa di Kota Gaza – rumah sakit terbesar dengan kapasitas 700 tempat tidur – berhenti berfungsi dan situasi di dalamnya “mengerikan dan berbahaya”.
Jalanan di sekitar Al-Shifa dilanda pertempuran antara Hamas dan pasukan Israel. Beberapa infrastruktur penting telah rusak, menurut PBB.
Israel mengatakan personel Hamas beroperasi menggunakan terowongan di bawah rumah sakit – klaim yang dibantah oleh Hamas.
Staf di dalam rumah sakit mengatakan mereka tidak mungkin pergi tanpa risiko terluka atau meninggal.
Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, menulis di media sosial X bahwa “tembakan dan pengeboman terus-menerus terjadi di daerah itu” yang kemudian “memperburuk keadaan yang sudah kritis”.
Beberapa laporan dari dalam rumah sakit mengatakan tidak ada makanan dan tidak ada bahan bakar untuk menyalakan pembangkit listrik.
Sehingga, mereka menggunakan energi matahari untuk memberi daya pada perangkat-perangkat penting.
Ada pula pemutusan jaringan komunikasi. Badan amal Doctors Without Borders tidak dapat menghubungi anggotanya di Gaza selama akhir pekan lalu.
Upaya BBC untuk menghubungi pekerja di rumah sakit juga seringkali tidak berhasil.
Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas mengatakan setidaknya ada 2.300 orang yang masih berada di dalam rumah sakit – sekitar 650 pasien, 200-500 staf dan sekitar 1.500 orang yang berlindung.
Jumlah ini mencakup bayi baru lahir yang disimpan di ruang bedah rumah sakit.
Staf mengatakan bahwa tiga dari 39 bayi yang mereka rawat telah meninggal selama akhir pekan karena kurangnya inkubator.
Bayi yang selamat menghadapi risiko kematian yang serius, kata dokter.
Kepala juru bicara Pasukan Pertahanan Israel (IDF), Laksamana Muda Daniel Hagari, mengatakan pada Sabtu (11/11) bahwa Israel akan memberi bantuan untuk mengevakuasi bayi-bayi itu ke “rumah sakit yang lebih aman”.
Namun, evakuasi itu belum terjadi hingga Senin sore.
Staf rumah sakit mengatakan kepada BBC bahwa memindahkan bayi dengan aman akan membutuhkan peralatan canggih, dan bahwa tidak ada “rumah sakit yang lebih aman” di dalam Gaza.
Mark Regev, penasihat senior Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, mengatakan Hamas tidak ingin menerima solusi atas kurangnya bahan bakar yang dibutuhkan untuk menyelamatkan bayi-bayi itu, dan bahwa “mereka butuh bukti foto menunjukkan krisis”.
“Kami membeli bahan bakar, terutama untuk bayi, untuk inkubator mereka … tidak ada yang ingin melihat bayi-bayi ini tersakiti,” kata Regev.
Ia menyatakan kembali klaim Israel bahwa pasukannya tidak sengaja menargetkan rumah sakit.
Pada Sabtu (11/11), Kolonel Moshe Tetro dari IDF mengakui adanya bentrokan di dekatnya, tetapi ia mengeklaim tidak ada penembakan di rumah sakit itu sendiri, dan tidak ada pengepungan.
Siapa pun yang ingin pergi, katanya, bisa melakukannya. Dia menegaskan bahwa kabar yang mengatakan sebaliknya adalah bohong.
Marwan Abu Saada, seorang ahli bedah di Al-Shifa, mengatakan kepada BBC bahwa ada pengeboman di sekitar rumah sakit dan ambulans tidak bisa masuk.
IDF juga mengatakan upaya untuk mengirimkan 300 liter bahan bakar ke Al-Shifa pada Minggu (12/11) gagal karena Hamas menolak untuk menerimanya – kabar yang dibantah oleh Hamas.
Abu Saada mengatakan kepada BBC pada hari yang sama bahwa 300 liter hanya akan “bertahan 30 menit”, dan bahwa rumah sakit saat ini membutuhkan 10.000 liter sehari untuk beroperasi secara normal.
Ditambah lagi, meningkatnya risiko penyakit dari kebersihan yang buruk dan pembusukan mayat yang tidak dapat didinginkan.
Dr Mohamed Abu Selmia, manajer Al-Shifa, mengatakan ada sekitar 150 jenazah yang membusuk dan “mengeluarkan bau tidak sedap”.
Dia mengatakan kepada BBC bahwa pihak berwenang Israel masih belum memberikan izin bagi jenazah tersebut untuk dibawa dan dikuburkan.
Menurutnya, anjing kini telah memasuki halaman rumah sakit dan mulai memakan jenazah tersebut.
Dr. Marwan Al-Barsh yang merupakan direktur jenderal Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas di Gaza mengatakan situasi ini diperburuk oleh kurangnya bahan bakar untuk listrik di kamar mayat.
“Listrik diputus oleh pasukan Israel yang menargetkan generator, yang menyebabkan pembusukan mayat-mayat karena kita melihat cacing keluar dari mereka,” kata Al-Barsh kepada BBC Arabic.
Al-Bursh mengatakan pihaknya kesulitan untuk menguburkan jenazah karena ancaman militer Israel.
“Kami mencoba berkoordinasi dengan pasukan Israel agar kami diizinkan menguburkan jenazah di dalam rumah sakit, namun siapa pun yang mencoba keluar dari rumah sakit akan langsung ditembak,” ujarnya.
Israel mengatakan “dengan keyakinan” bahwa ada pusat komando Hamas di bawah rumah sakit Al-Shifa.
Mereka membagikan gambar tiga dimensi dari apa yang mereka sebut sebagai jaringan terowongan di bawah rumah sakit, dan rekaman yang kata mereka menunjukan pejuang Hamas yang membahas terowongan itu.
Hamas membantah menggunakan rumah sakit atau memiliki pusat operasi di bawahnya. Dokter di dalam juga bersikeras bahwa tidak ada kehadiran Hamas di sana.
Koresponden BBC di Gaza, Rushdi Abualouf, mengatakan bahwa ia belum pernah melihat “tenaga militer” di dalam rumah sakit, tetapi mengakui sulit untuk memverifikasi klaim Israel ataupun Hamas.
RS Indonesia
Rumah Sakit Indonesia di Jalur Gaza lumpuh setelah pasokan bahan bakar dan persediaan obat-obatan habis, kata Kepala Presidium MER-C Dr Sarbini Abdul Murad.
Kendati begitu para tenaga medis tidak akan meninggalkan rumah sakit meskipun telah berkali-kali nyaris terkena serangan roket oleh militer Israel.
Saat ini RS Indonesia tak hanya diisi oleh pasien yang membutuhkan perawatan, tetapi warga sekitar yang mencari perlindungan. Mereka memadati tiga lantai rumah sakit beserta halaman depan.
Para dokter dan perawat, menurut Sarbini, tak mungkin mengusir mereka lantaran rumahnya sudah tidak aman.
Sementara untuk merawat korban luka, dokter di sana hanya bisa berbuat seadanya.
“Contoh kalau ada yang luka dibersihkan dengan air seadanya, bukan cairan khusus, lalu ditutup perban. Jadi bukan standar normal dijahit. Tidak memenuhi standar dan dilakukan dengan keterbatasan,” ungkapnya.
“Banyak pasien infeksi karena [perawatan] tak sesuai standar.”
Dia juga mengatakan pasokan bahan bakar yaitu solar sudah habis. Begitu juga dengan persedian obat-obatan, makanan, minuman menipis.
Para staf medis, kata Sarbini, terpaksa melakukan penghematan yang luar biasa.
Situasi seperti ini membuat rumah sakit lumpuh.
“Ya lumpuh, pasokan bahan bakar untuk listrik tidak ada, obat ludes… tapi mereka tetap mencoba melakukan yang terbaik. Kalau tidak ada lampu, pakai senter atau dilakukan di siang hari.”
Rumah sakit Al-Ahli
Dr Tedros dari WHO mengatakan pada 10 November bahwa rumah sakit yang berfungsi di Jalur Gaza sedang “beroperasi jauh melebihi kapasitas mereka”.
Dr Ghassan Abu Sittah, seorang dokter yang bekerja di rumah sakit Al-Ahli di Gaza utara, mengatakan kepada BBC bahwa rumah sakit itu kini berusaha merawat semua yang terluka di Kota Gaza tetapi tidak memiliki sumber daya untuk mengatasinya.
Ia mengatakan bahwa ambulans tiba dengan orang-orang yang terluka setiap 10 menit, dan staf rumah sakit tidak bisa mengakses bank darah, yang katanya dikelilingi oleh tank Israel.
“Kami tidak memiliki teknisi rontgen dan kami kekurangan obat sampai pada titik di mana kami harus melakukan operasi yang sangat menyakitkan pada luka besar agar tetap bersih tanpa analgesia, tanpa obat bius,” katanya.
Ia menambahkan bahwa ruang operasi hanya digunakan untuk operasi penyelamatan jiwa “karena kami tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk merawat semua orang”.
Bulan lalu, Al-Ahli mengalami ledakan yang mematikan, yang kemudian menjadi fokus perdebatan antara Israel dan Hamas tentang siapa yang bertanggung jawab.
Rumah sakit Al-Quds
Rumah sakit terbesar kedua di Jalur Gaza setelah Al-Shifa, menurut Bulan Sabit Merah Palestina, sudah berhenti beroperasi.
Bulan Sabit Merah Palestina mengatakan pada Sabtu (11/11) bahwa timnya terjebak di dalam dengan 500 pasien dan sekitar 14.000 orang terlantar, kebanyakan adalah perempuan dan anak-anak.
Pada Minggu (12/11) dikabarkan bahwa rumah sakit itu “tidak melayani … tidak lagi beroperasi… karena menipisnya bahan bakar yang tersedia dan pemadaman listrik”.
Mereka menambahkan bahwa rumah sakit itu “dibiarkan berjuang sendiri di tengah pengeboman Israel yang sedang berlangsung, [sehingga] menimbulkan risiko parah bagi tenaga medis, pasien dan warga sipil yang terlantar”.
Bulan Sabit Merah Palestina juga mengatakan bahwa “konvoi evakuasi” yang melakukan perjalanan dari Khan Younis di Gaza selatan menuju rumah sakit Al-Quds terpaksa berbalik arah setelah “pengeboman tanpa henti”.
Mereka menambahkan bahwa orang-orang yang terjebak di rumah sakit tidak memiliki makanan, air atau listrik.
Doctors Without Borders mengatakan pada Sabtu (12/11) bahwa mereka telah kehilangan kontak dengan seorang ahli bedah yang bekerja dan berlindung di Al-Quds bersama keluarganya.
Seorang juru bicara Bulan Sabit Merah mengatakan pada kantor berita Reuters bahwa rumah sakit itu telah terperangkap selama hampir seminggu, “tidak ada jalan masuk, tidak ada jalan keluar”, dan daerah sekitarnya mengalami serangan konstan.
Al-Rantisi dan Al-Nasr, Gaza utara
Rumah Sakit Rantisi untuk Anak-Anak dan Rumah Sakit Al-Nasr di dekatnya, di Gaza utara, telah dievakuasi pada Jumat (10/11) kecuali beberapa pasien dan staf.
Rantisi adalah satu-satunya rumah sakit yang memiliki ruang perawatan kanker anak di Gaza.
Militer Israel merilis kepada BBC rincian percakapan telepon antara seorang pejabat di Rantisi dan seorang perwira senior militer Israel, di mana mereka membahas pengiriman ambulans untuk mengevakuasi pasien.
Pejabat rumah sakit itu bertanya tentang nasib ratusan warga sipil yang mengungsi dan berkemah di dua rumah sakit.
Perwira Israel mengatakan kepada warga sipil untuk pergi melalui pintu masuk utama pada pukul 11:20 dan menjelaskan secara rinci jalan-jalan mana yang harus mereka lalui untuk meninggalkan Gaza.
Perwira IDF sudah dua kali memberitahu petugas rumah sakit agar memastikan warga sipil membawa sesuatu berwarna putih untuk menunjukkan bahwa mereka bukan pejuang.
“Mereka semua akan keluar dengan tangan diangkat ke udara,” kata pejabat rumah sakit itu.
“Sempurna,” kata orang Israel itu.
Dalam sebuah video yang diverifikasi oleh BBC, orang-orang yang mengibarkan bendera putih berjalan di tengah tembakan-tembakan ketika mereka berusaha meninggalkan Al-Nasr pada Jumat (10/11).
Tidak jelas dari mana suara tembakan itu berasal atau siapa yang menembakkannya.
Dr Bakr Gaoud, kepala Rumah Sakit Rantisi, dikutip oleh New York Times mengatakan bahwa pasukan Israel tiba pada akhir pekan lalu dan memberikan peta yang menunjukkan jalan keluar yang aman.
“Kami membawa pasien keluar dari tempat tidur mereka,” katanya, sambil menambahkan bahwa mereka mengirim pasien dalam kondisi buruk ke Al-Shifa, yang sudah kewalahan dan kesulitan beroperasi.
Yang lainnya, katanya, telah berjalan ke Gaza selatan untuk menghindar dari pertempuran utama.
Pada Senin malam, juru bicara IDF Daniel Hagari menunjukkan kepada media apa yang dia sebut sebagai bukti keberadaan infrastruktur Hamas di Rantisi.
Video itu menunjukkan bahan peledak, rompi bunuh diri dan bahkan sepeda motor yang digunakan dalam serangan 7 Oktober, tersembunyi di ruang bawah tanah rumah sakit itu.
Kemudian, dalam video lain terdapat sebuah poros dengan tangga di samping yang ia klaim adalah pintu masuk ke terowongan yang berada di antara sekolah dan rumah sakit, menyebut itu “tidak lain dari terowongan teror”.
Klinik Al-Sweidi (Swedia), kamp Shati
Kantor PBB bagian isu kemanusiaan mengatakan dalam keterangan Minggu malam bahwa klinik Swedia telah “terhantam dan hancur” akibat serangan udara pada Sabtu (11/11).
Berdasarkan laporan PPB, ada sekitar 500 orang berlindung di sana dan jumlah korban “tidak diketahui”.
Pada Senin pagi, koresponden BBC Gaza Rushdi Abu Alouf berbicara dengan Maryam al-Arabeed, seorang perempuan berusia 65 tahun yang mengatakan tentara Israel telah memasuki fasilitas pada Minggu malam dan memindahkan semua orang keluar.
Ia kemudian menyaksikan “buldoser Israel benar-benar menghancurkan bangunan itu”.
“Mereka membawa para pemuda keluar termasuk ketiga putra saya dan memisahkan perempuan dan anak-anak,” katanya kepada BBC.
Maryam menambahkan bahwa dia tidak tahu di mana putra atau kerabatnya berada.
IDF mengatakan mereka sedang menyelidiki laporan tersebut.
“Berbeda dengan serangan Hamas yang disengaja terhadap laki-laki, perempuan dan anak-anak Israel, IDF mengikuti hukum internasional dan mengambil tindakan pencegahan yang layak untuk mengurangi serangan terhadap sipil,” tambah militer Israel.
[ad_2]
Source link