[ad_1]
Konflik antara Israel dan Hamas telah memicu polarisasi warganet Indonesia, dengan sebagian dari mereka menyerukan boikot terhadap perusahaan-perusahaan yang dianggap mendukung Israel. Namun, alih-alih melumpuhkan ekonomi Israel, pengamat mengatakan aksi boikot ini justru merugikan ekonomi Indonesia.
Adapun polarisasi di kalangan warganet Indonesia merupakan hal lumrah karena masalah internasional kerap memicu dua kubu alias binari di media sosial, kata pengamat hubungan internasional dari Universitas Paramadina, Shiskha Prabawaningtyas.
“Ada ruang-ruang kontestasi identitas dan afiliasi, itu mensimplifikasi bahwa tidak memboikot Israel sama saja dengan [mendukung genosida], itu simplifikasi. Padahal belum tentu begitu,” kata Shiskha kepada BBC News Indonesia, Kamis (02/11).
Ia menambahkan, meski reaksi emosional dalam percakapan di media sosial adalah hal yang wajar, reaksi tersebut dapat dengan mudah mengarah ke polarisasi keberpihakan terhadap sebuah topik internasional.
Pada platform media sosial X (yang sebelumnya dikenal dengan Twitter), sejumlah netizen Indonesia mendorong agar masyarakat melakukan boikot terhadap produk-produk buatan Israel maupun perusahaan yang dianggap terafiliasi dengan Israel.
Bagaimana pro dan kontra boikot Israel di dunia maya?
Sejumlah warganet Indonesia membuat unggahan dengan menampilkan foto merek-merek kelas mancanegara.
“Kalian bisa mulai gerakan kecil ini dari diri sendiri. Tunjukkan suara kita,“ tulis seorang pengguna X.
Kemudian, ada pengguna lain yang menyertakan foto berisi merek-merek yang diduga terafiliasi dengan Israel maupun Amerika Serikat, di atas foto Jalur Gaza yang dipenuhi asap abu-abu.
”Kita tak boleh ke sana berjuang. Apa yang kita boleh buat adalah doa dan #BoikotIsrael #BoikotProductIsrael,” ungkan pengguna X itu.
Seorang pengguna X ikut mendorong isu tersebut dengan menampilkan video yang menunjukkan contoh negara-negara lain yang melakukan boikot terhadap merek Israel.
“Hal ini dilakukan untuk menyampaikan pesan bahwa mereka mengkritik serangan Israel,“ tulis pengguna tersebut.
Meski cukup ramai, ada pula beberapa warganet yang khawatir gerakan boikot justru akan merugikan perekonomian Indonesia.
Seorang pengguna X mengaku kurang setuju dengan aksi boikot guna mendukung Palestina. Melainkan, ia lebih memilih jalur penyumbangan donasi ketimbang menolak untuk membeli produk-produk dari perusahaan terafiliasi Israel.
“Karyawannya warga indonesia, dan stok barangnya dapet dari UMKM indonesia juga. Kenapa enggak lewat donasi aja? Lebih kepakai kayaknya,” tulis pengguna X @Pratamaagi.
Ada pula pengguna yang menyoroti kerugian yang dapat timbul jika masyarakat Indonesia memilih untuk boikot perusahaan-perusahaan terafiliasi Israel, namun pengolahnya pihak dalam negeri.
“Yang pasti sudah beda management dan beda tenaga kerja. Kalau latah boikot semua malah matiin perekonomian dalam negeri enggak sih?“ ungkap pengguna tersebut.
Selain itu, seorang pengguna X berpendapat bahwa akan sulit untuk memboikot perusahaan-perusahaan yang masuk daftar boikot, terutama mereka yang merupakan merek besar dan ternama.
Ia juga mengingatkan bahwa banyak tenaga kerja lokal terancam kehilangan pekerjaan jika gerakan boikot menjadi semakin besar.
Apakah gerakan boikot Israel di Indonesia berdampak signifikan pada situasi di Gaza?
Gerakan Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS) Indonesia, yang kini memiliki 2.592 pengikut di Instagram, turut mendorong aksi boikot tersebut dengan merilis daftar perusahaan-perusahaan mana saja yang menjadi target.
BDS Indonesia membagi daftar itu menjadi dua kategori: perusahaan yang menjadi target boikot utama dan perusahaan-perusahaan yang diberi tekanan sosial.
Pegiat dari BDS Indonesia, Giri Taufik, menjelaskan bahwa organisasi tersebut sudah berdiri sejak 2021 dan merupakan bagian dari gerakan global BDS yang diinisiasi oleh aktivis Palestina, Omar Barghouti.
Ia menyatakan bahwa tujuan utama dari gerakan boikot tersebut adalah memberi tekanan pada perusahaan-perusahaan yang ‘komplisit’ dalam serangan Israel terhadap Palestina.
“Strategi boikot itu untuk memberikan rasa akuntabilitas bahwa perusahaan-perusahaan ini bertanggung jawab atas apa yang dilakukan Israel,” ujar Giri kepada BBC News Indonesia.
Komplisit dalam hal ini, menurut Giri berupa kontribusi langsung maupun pembiaran terhadap Israel dalam situasi di Gaza.
“Jadi bentuk tekanannya beda-beda masing-masing. Tapi yang jelas kita adalah kampanye kesadaran publik bahwa apa yang dilakukan [perusahaan] komplisit terhadap kedudukan Israel. Jadi ada akuntabilitas, dia disorot terus,” kata Giri.
PT Rekso Nasional Food, perusahaan induk McDonald’s Indonesia – salah satu perusahaan yang masuk ke dalam daftar perusahaan BDS Indonesia – mengatakan bahwa mereka “sangat prihatin melihat eskalasi konflik baru-baru ini di Timur Tengah”.
Meta Rostiawati, Associate Director of Communications McDonald’s Indonesia juga menegaskan bahwa PT Rekso Nasional Food adalah perusahaan swasta nasional, yang dimiliki oleh pengusaha Indonesia dengan jumlah karyawan lebih dari 16.000 pekerja lokal.
“McDonald’s Indonesia merupakan entitas yang beroperasi secara independen dan tidak terafiliasi dengan kegiatan operasional maupun keputusan McDonald’s di negara lain, termasuk McDonald’s Israel,” tulis Meta dalam keterangan tertulis.
BBC News Indonesia telah menghubungi Nestle Indonesia lewat Direktur Corporate Affairs Nestle Indonesia Sufintri Rahayu, namun hingga berita ini diterbitkan, yang bersangkutan belum memberikan tanggapan.
Apakah gerakan boikot Israel berdampak pada ekonomi Israel?
Peneliti INDEF, Ahmad Heri Firdaus, mengatakan dari segi ekonomi, aksi boikot akan lebih merugikan ekonomi Indonesia ketimbang Israel.
Sebab, kebanyakan dari perusahaan-perusahaan Israel yang ingin diboikot sebenarnya memiliki lisensi dalam negeri dan sudah menyerap tenaga kerja dan sumber daya lokal.
“Artinya kalau ada aksi boikot nanti yang terkena dampak adalah tenaga kerja yang bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut yang dimana itu adalah tenaga kerja mereka sendiri,” ujar Heri kepada BBC News Indonesia.
Meskipun ia mengakui bahwa gerakan boikot itu sendiri merupakan bentuk dari pernyataan politik tegas masyarakat Indonesia yang mengecam tindakan Israel dan kepedulian mereka terhadap Palestina, namun Heri sebut risikonya terlalu besar.
Ia menilai bahwa produk-produk lokal memang bisa menjadi alternatif untuk pergeseran pola konsumsi masyarakat. Namun, menurut Heri mereka belum sanggup bersaing maupun menggantikan perusahaan multinasional yang hendak diboikot.
“Meskipun raksasa-raksasa itu dipaksa jatuh, kita butuh waktu untuk membangkitkan yang kecil-kecil ini [UMKM lokal],” ujar Heri, yang menambahkan bahwa konsumen Indonesia masih memandang merek sebagai nilai jual.
Pengamat Ekonomi Syariah, Muhammad Syakir Sula, mengatakan bahwa gerakan boikot tidak akan membawa dampak terlalu besar terhadap perekonomian Indonesia.
“Jangan membayangkan kita akan memboikot dan perusahan-perusahan ini tutup. Indonesia beda dengan Malaysia, karena masyarakat kita heterogen,” ujar Syakir.
Ia tak yakin bahwa aksi boikot tersebut akan berujung pada penutupan perusahaan ataupun pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran, namun memang kemungkinan ada penurunan pendapatan.
“Dampaknya penurunan aset 20% sampai 30%. Tidak semua orang peduli dengan apa yang terjadi, jadi saran saya biarkan saja,” ungkapnya.
Terkait dengan tudingan bahwa boikot merugikan tenaga kerja dan perekonomian lokal, Giri Firdaus dari BDS Indonesia berargumen bahwa kerugian ekonomi bukanlah tujuan utama aksi boikot.
Namun, ia tidak bisa mempungkiri bahwa itu akan lambat-laun akan terjadi.
“Kami tidak memaksa harus boikot, tapi kita bentuknya kampanye. Kalau kemudian ada dampak terhadap ekonomi ketika ini menjadi masif, iya pada akhirnya. Tapi pilihannya bisa dilakukan juga,” ujarnya.
Seruan aksi boikot produk Israel atau perusahaan-perusahaan yang dianggap mendukung Israel telah berlangsung di berbagai belahan dunia. Dalam aksi demonstrasi pro-Palestina, seruan ini kerap dikumandangkan.
Apa tanggapan pemerintah Indonesia dan DPR RI terhadap aksi boikot Israel?
Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid, mengatakan gerakan untuk memboikot produk-produk yang terafiliasi Israel tidak akan menyelesaikan masalah di tengah situasi yang terjadi Jalur Gaza.
Meski begitu, ia mendorong agar Indonesia bersikap keras di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam menyikapi isu tersebut.
“Kalau kita bersikap keras di PBB harus, jadi kita kerasnya yang insyaallah bawa manfaat dan ada konkretnya, seperti sikap presiden yang sudah tegas, tinggal bagaimana di PBB kita bisa menggalang. Kalau boikot-boikot saya rasa tidak usah,” ujar Meutya kepada awak media, seperti dikutip dari kantor berita Antara.
Lebih lanjut, ia menilai Indonesia memiliki tanggung jawab besar karena duduk di Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB. Sehingga Indonesia perlu menyuarakan ihwal pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di Gaza.
“Artinya untuk apa jadi anggota Dewan HAM kalau kemudian kita tidak berhasil menyuarakan hal-hal yang memang kita rasa perlu, khususnya terkait Palestina,” ucap Meutya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Putu Juli Ardika, menilai ajakan untuk memboikot produk Israel yang ramai di media sosial dapat menjadi kesempatan untuk memperkuat industri dalam negeri.
Ia berharap produk-produk produksi dalam negeri bisa dimanfaatkan sepenuhnya oleh pasar domestik di tengah boikot yang ramai.
”Di sosmed ada ajakan-ajakan untuk memboikot beberapa produk, mudah-mudahan itu akan menjadi momentum yang bagus bagi kita untuk memperkuat pengetatan arus barang karena kita masih impor beberapa produk,” kata Putu, seperti dikutip Antara, pada Selasa (31/10).
[ad_2]
Source link