[ad_1]
Pemerintah daerah Yahukimo telah menetapkan status tanggap darurat bencana di wilayahnya sejak 21 Oktober hingga 1 November 2023 setelah 23 orang di Distrik Amuma, Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan, dilaporkan meninggal dunia akibat kelaparan.
Kasus kematian akibat kelaparan ini bukan yang pertama di Papua. Bulan Agustus lalu, dilaporkan sekitar enam orang meninggal karena kelaparan di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah.
Di Kabupaten Lanny Jaya, tahun lalu, tiga orang dilaporkan meninggal dunia akibat wabah kelaparan, dipicu oleh kekeringan yang menyebabkan warga gagal panen. Lalu, terdapat belasan kasus kelaparan yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya.
Sistem pertanian Papua yang tidak berkelanjutan, kesehatan masyarakat yang rapuh, hingga pembangunan daerah otonomi baru (DOB) disebut pengamat pertanian dari Universitas Papua, Mulyadi, menjadi segelintir faktor penyebab kelaparan yang menimbulkan kematian masih terus terjadi.
Untuk itu, sosiolog pertanian dan lingkungan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Angga Dwiartama, menilai pengembangan sistem pangan lokal dan pemberian akses warga atas lahan menjadi kunci penting membangun ketahanan pangan di Papua.
Apa yang terjadi di Yahukimo?
Seorang warga Yahukimo yang menjadi koordinator penanggulangan kelaparan di Distrik Amuma, Naman Bayage menjelaskan terdapat 23 orang dari 13 kampung meninggal akibat kelaparan.
“Penyebabnya itu musibah kelaparan karena tiga bulan berturut-turut hujan. Hujan membuat gagal panen, akhirnya masyarakat meninggal karena lapar,“ kata Naman saat dihubungi BBC News Indonesia, Kamis (26/10).
Dari 23 orang yang meninggal itu, kata Naman, terdapat balita, anak-anak, hingga lansia.
Naman menjelaskan, korban meninggal berlangsung sejak Agustus lalu, dan jumlah korban terbanyak terjadi pada Oktober.
“Kelaparan itu sudah tiga bulan. Lebih banyak meninggal bulan ini, hitung dari Agustus. Korban banyak meninggal Oktober ini, ada orang tua, anak-anak sampai dengan balita,“ katanya.
‘Bantuan tidak sesuai yang dibutuhkan‘
Naman mengungkap, warga di Distrik Amuma telah menerima bantuan dari Kementerian Sosial. Bantuan itu berupa sekitar 1,3 ton beras, tenda 50 lembar, 1.200 selimut, dan lainnya.
Namun, kata Naman, bantuan itu tidak sepenuhnya dibutuhkan oleh warga.
“Mereka itu bukan pengungsi longsor, atau bencana apa. Karena ini murni musibah kelaparan. Jadi yang harus dibantu itu beras… Jadi yang siapkan tenda dan lain itu salah. Mereka punya rumah, dan lainnya semua lengkap, “ juar Naman.
Naman menjelaskan, terdapat sekitar 12.000 jiwa di Distrik Amuma yang tersebar di 13 kampung. Bantuan 1,3 ton beras, katanya, tidak cukup untuk warga.
“Korban tewas akibat kelaparan, bukan penembakan, longsor atau bagaimana, tidak ada. Murni musibah kelaparan akibat gagal panen,“ ujar Naman.
Dalam siaran persnya, Kemensos menyebut telah menyalurkan bantuan bagi warga Distrik Amuma, Panggema, Anggruk di Yahukimo, yang mengalami bencana kelaparan akibat gagal panen dan bencana tanah longsor sejak 20-24 Oktober lalu.
Bantuan bagi korban kelaparan akibat gagal panen di Distrik Amuma berupa 2.000 paket makanan anak, 350 dus sarden, 1.250 kg beras premium, 4.000 lembar selimut, 848 dus mi instan, 200 lembar tenda gulung, dan ratusan pakaian.
Kemensos juga mengaku telah membentuk 36 lumbung sosial sepanjang tahun 2021 sampai tahun 2023.
Wapres Ma’ruf Amin: Pemerintah akan siapkan strategi jangka panjang
Wakil Presiden Ma’aruf Amin menegaskan, pemerintah akan segera mengirimkan bantuan sebagai solusi jangka pendek guna mengatasi bencana kelaparan itu.
“Jangka pendek kita akan mengirim bantuan ke sana,” ungkap Ma’aruf, Rabu (25/10).
Selain strategi jangka pendek itu, Wapres mengatakan bahwa pemerintah juga akan menyiapkan rencana jangka panjang dengan memastikan stok makanan pokok masyarakat Yahukimo tetap aman sepanjang tahun.
“Kita akan melihat di sana itu makanan pokoknya apa. Kalau seperti kemarin di Papua Tengah itu kan [makanan pokok] mereka ubi, akan kita siapkan insfrastrukturnya supaya tanaman ubi tidak mengalami hambatan karena cuaca, karena kekurangan air, atau karena apa,” terangnya.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy belum bisa memastikan penyebab 23 orang yang meninggal di Distrik Amuma akibat kelaparan.
”Jadi kami belum bisa memastikan dia memang meninggal kelaparan… Artinya tidak ada kaitan, belum ada bukti bahwa itu ada kaitan langsung dengan kelaparan,“ ujar Muhadjir, walau dia tidak menyangkal bahwa terjadi krisis pangan di sana sebagai dampak gagal panen.
Didimus menyebut, puluhan warga itu meninggal dalam kurun waktu delapan bulan dan disebabkan oleh berbagai keluhan, seperti kelelahan hingga penyakit bawaan.
Pemkab Yahukimo juga mengaku telah mengirimkan beras empat ton sampai Rabu (25/10) lalu.
Menurut keterangan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Pemkab Yahukimo telah mengeluarkan status tanggap darurat bencana mulai 21 Oktober hingga 1 November 2023.
“Kita siapkan beras 20 ton, makanan siap saji 10.000 paket, biskuit protein 10.000 bungkus, tenda pengungsi 5 unit , sembako 1.500 paket, hygiene kits 1.500 paket, solar panel 50 unit, dan anggaran operasional Rp1 miliar,” kata Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto.
“Seperti di daerah lain yang rumah rusak ringan akan dapat bantuan per rumah Rp15 juta dan rusak berat akan dapat pergantian Rp60 juta, data rumah rusak ini sifatnya masih belum pasti dan akan diverifikasi terus,” tuturnya.
Kabid Humas Polda Papua, Kombes Pol. Ignatius Benny Ady Prabowo, mengatakan bahwa Kapolda Papua Irjen Pol. Mathius Fakhiri akan mengirimkan bantuan berupa empat ton beras dan mie instan.
“Proses pendistribusiannya akan berlangsung melalui kerja sama dengan Tim Gabungan Tanggap Darurat Pemda Yahukimo, yang nantinya dibawa menggunakan helicopter mengingat akses yang terbatas ke daerah tersebut. Bantuan ini diberikan dalam upaya untuk membantu masyarakat yang tengah menderita kelaparan diduga akibat cuaca ekstrem,” tutur Kombes Benny dalam siaran persnya.
Mengapa kelaparan yang menyebabkan kematian terus berulang?
Pengamat pertanian dari Universitas Papua, Mulyadi mengatakan terdapat dua faktor penyebab kelaparan yang menyebabkan kematian terus terjadi di Papua, yaitu faktor alam dan non-alam.
Faktor alam meliputi cuaca ekstrem seperti embun beku di Kabupaten Puncak dan hujan deras di Yahukimo, yang menyebabkan makanan warga rusak hingga gagal panen.
Kemudian adalah non-alam yang dipengaruhi oleh manusia. Dalam bagian ini, kata Mulyadi, ada setidaknya tiga faktor yang menjadi penyebab.
Pertama adalah karena sistem pertanian di Papua yang tidak keberlanjutan.
“Sistem pertanian di Papua sangat rentan dan tidak berkelanjutan. Sistem pertaniannya subsisten, artinya bertani hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, tidak dalam bentuk jangka panjang, atau berkelanjutan,“ kata Mulyadi.
Sehingga saat terjadi kejadian luar biasa seperti cuaca ekstrem yang mempengaruhi pertanian, masyarakat tidak memiliki simpanan pangan.
Kedua, adalah kondisi kesehatan masyarakat Papua yang rapuh, sehingga ketika terjadi gangguan terhadap sumber pangan maka berpotensi besar menimbulkan kelaparan yang berujung kematian.
“Contoh angka stunting Papua satu yang tertinggi di Indonesia. Stunting itu terkait kesediaan pangan dan gizi. Jadi jika tidak ada makanan yang cukup maka gampang sekali terjangkit penyakit di masyarakat,“ kata Mulyadi.
Selain itu, tingkat kemiskinan ekstrem di papua masih sangat tinggi, seperti di Provinsi Papua sebesar 7,26%, lalu Papua Tengah 11,62% dan tertinggi se-Indonesia di Papua Pegunungan sebanyak 16,5%.
Faktor selanjutnya adalah pembentukan daerah otonomi baru (DOB), yaitu Provinsi Papua Tengah dan Papua Pegunungan, wilayah yang tahun ini menyumbang kasus kelaparan yang menyebabkan kematian.
“Provinsi baru itu menyebabkan sumber daya pemerintah lebih banyak diarahkan kepada pembangunan infrastruktur daerah baru, misalnya kantor-kantor. Tapi lupa bahwa kondisi ketahanan pangan, sistem pertanian yang tidak berkelanjutan, tidak diperhatikan,“ katanya.
Apa yang bisa dilakukan?
Sosiolog pertanian dan lingkungan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Angga Dwiartama, mengatakan, pengembangan sistem pangan lokal dan pemberian akses warga atas lahan menjadi kunci penting membangun ketahanan pangan di Papua.
Angga menuturkan, pengembangan sistem pangan lokal dengan memahami pola-pola penyediaan sumber makanan di masyarakat membuat mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup secara mandiri, seperti berasal dari pekarangan rumah, kebun, hutan, hingga laut.
“Tidak bisa masyarakat mengandalkan mekanisme pasar, apalagi kondisi di daerah yang ketimpangan ekonomi tinggi. Kalau di Jakarta oke lah karena perputaran uang di situ. Tapi di Papua, harga-harga bisa cukup tinggi. Dan menyerahkan ketahanan pangan ke pasar sama saja bunuh diri,” katanya.
Menurut Angga, masyarakat di pegunungan Papua dulu memiliki cara pemenuhan pangan sendiri yang telah turun temurun. Mereka memiliki banyak varietas umbi-umbian yang ditanam di waktu-waktu berbeda, seusai karakteristik biologisnya, sehingga bisa menjamin ketersediaan pangan sepanjang tahun.
“Ketika beras mulai diperkenalkan, mulai terbangun ketergantungan pada beras, yang mengandalkan logistik yang sulit. Varietas umbinya juga semakin berkurang. Jadi ketika cuaca buruk, yang sebenarnya terjadi adalah sulitnya beras masuk ke kawasan [transportasi dan logistik], yang menyebabkan kerawanan pangan,“ kata Angga.
“Jadi asumsi saya tentang ketergantungan pada ekonomi nasional [bukan sistem pangan lokal mereka] menyebabkan semakin renggangnya hubungan masyarakat dengan sumber daya hayati lokal. Ini yang meningkatkan kerentanan masyarakat,“ katanya.
Selain sistem pangan lokal, Angga menambahkan, akses atas lahan adalah dengan memberikan ruang kepada warga agar bisa memanfaatkan sumber daya alam.
“Kunci kedaulatan pangan adalah kedaulatan lahan. Kalau bisa dapat akses terhadap lahan, dan memanfaatkan itu bukan untuk tujuan komersil, untuk keberlanjutan hidup mereka, itu bisa jadi satu solusi membangun ketahanan pangan,“ katanya.
Sementara itu, Mulyadi mengatakan pemerintah perlu mengembangkan sistem pertanian berkelanjutan, misalnya dengan menyiapkan bibit pangan lokal unggul yang tahan dengan cuaca ekstrem dan juga diversifikasi pertanian (usaha penganekaragaman tanaman pertanian untuk menghindari ketergantungan pada salah satu sumber).
Kemudian, membentuk komunitas pertanian di kalangan masyarakat agar saling membantu juga penting sehingga mereka mampu mempersiapkan stok pangan secara berkelanjutan.
[ad_2]
Source link