[ad_1]
Belum mulai masa kampanye, isu dugaan kecurangan dalam pemilihan umum sudah mengemuka. Sejumlah pengamat khawatir kegaduhan ini dapat memicu ketegangan yang berujung konflik di tengah masyarakat.
Pengamat politik dari Pusat Kajian Ilmu Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Hurriyah, khawatir jika isu ini terus dikemukakan elite politik, ketegangan akan pecah menjadi konflik ketika ada sengketa pemilu pada akhir Pilpres 2024.
Ia juga menganggap semua kubu di Pilpres 2024 sebenarnya memiliki konflik kepentingan sehingga mereka sepatutnya sadar betul dan tak saling tuding.
Menanggapi isu ini, pengamat politik dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM), Khoirunnisa Agustyati, pun berharap elite politik yang mengembuskan isu dugaan kecurangan dapat segera menempuh jalur pelaporan sesuai undang-undang agar ketegangan tak berlarut.
Di lapangan, sejumlah masyarakat sudah mulai menyuarakan protes mereka atas dugaan kecurangan menjelang kampanye pemilu.
Semua isu ini menjadi sorotan setelah dugaan kecurangan pemilu diembuskan oleh sejumlah elite politik.
Awal mula tudingan kecurangan dalam pemilu
Isu ini mulai berembus dalam beberapa hari belakangan, setelah Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, mewanti-wanti potensi kecurangan dalam rangkaian Pemilu 2024.
“Rakyat jangan diintimidasi seperti dulu lagi. Jangan biarkan kecurangan pemilu yang akhir ini terlihat sudah mulai terlihat akan terjadi lagi,” ujar Megawati dalam pesan video yang diunggah di YouTube resmi PDIP pada Senin (13/11).
Setelah itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI, Mahfud MD, mengaku menerima laporan mengenai kecurangan pemilu di Jakarta, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara.
“Laporan yang saya terima, antara lain dugaan pemasangan baliho parpol oleh oknum tertentu. Sebaliknya terjadi penurunan baliho parpol tertentu yang diduga dilakukan oleh aparat,” kata Mahfud MD, seperti dikutip Kompas.com.
“Alat peraga sosialisasi capres-cawapres tertentu diturunkan oleh oknum Satpol PP. Ada juga laporan sejumlah oknum polisi yang mendatangi kantor parpol tertentu yang diduga sebagai tindakan intimidasi.”
Kala isu ini bergulir, PDIP kembali mengungkit penurunan baliho pasangan capres-cawapres yang mereka usung, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, di Bali beberapa waktu lalu.
Penurunan baliho ini menguatkan dugaan keberpihakan aparat dalam Pilpres 2024, terutama karena Presiden Joko Widodo dianggap berkepentingan mengingat putranya, Gibran Rakabuming Raka, ikut berlaga sebagai cawapres untuk Prabowo Subianto.
Ketika kubu PDIP terus mengembuskan isu kecurangan pemilu, beredar salinan pakta integritas yang memuat nama Pj Bupati Sorong, Yan Piet Mosso.
Dalam pakta itu, Yan menyatakan ia siap mencari dukungan dan memberikan kontribusi suara pada Pilpres 2023, minimal 60% + 1 untuk kemenangan capres yang diusung PDIP, Ganjar Pranowo, di Kabupaten Sorong.
Yan sendiri baru saja ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait pengondisian temuan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk wilayah Provinsi Papua Barat tahun anggaran 2023.
Mahfud menanggapi santai isu pakta integritas tersebut. Menurutnya, pakta itu sudah ada sejak sebelum penetapan capres-cawapres.
Di tengah kisruh ini, Gibran mendesak PDIP untuk melaporkan jika memang ditemukan dugaan kecurangan.
“Ya dibuktikan saja kalau ada kecurangan-kecurangan dan dilaporkan saja,” kata Gibran di Solo, Jawa Tengah, seperti dikutip Kompas.com.
Cawapres untuk Anies Baswedan, Muhaimin Iskandar, turut angkat suara. Ia justru menyindir posisi ganda Mahfud MD sebagai cawapres merangkap Menko Polhukam.
“Kalau Anda wasit merangkap bermain, sekaligus pemain, saya tidak segan-segan melaporkan ke FIFA,” ujar Muhaimin sembari mengibaratkan kontestasi Pilpres 2024 sebagai pertandingan sepak bola, sebagaimana dilansir Kompas.com.
Pelaksana Tugas Deputi IV Kantor Sekretariat Presiden (KSP), Wandy Tuturoong, akhirnya turut buka suara.
Menurutnya, saat ini yang bisa dilakukan adalah mengupayakan pencegahan kecurangan menjelang pemilu.
“Soal kekhawatiran tentang kecurangan, mari kita lakukan apa yang kita bisa untuk mencegahnya. Transparansi yang selama ini terlihat di ruang publik merupakan bagian penting untuk melakukan pengawasan, dari publik dan juga media,” ujar Wandy, seperti dikutip Kompas.com.
Pencopotan baliho di Sumatra Utara
Dugaan kecurangan menjelang pemilu mengemuka di berbagai daerah, termasuk Pematang Siantar, Sumatra Utara, tempat baliho dan poster Ganjar Pranowo dicopot.
Seorang warga Siantar, Mega Sihombing, geram saat menyaksikan sejumlah personel Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Pematang Siantar mencopot sejumlah poster bergambar Ganjar di Jalan Kartini pada akhir pekan lalu.
“Saya lihat mereka (Satpol PP) menurunkan poster Ganjar Pranowo. Cepat sekali kerjanya, dalam sekejap bersih semua poster Ganjar di Jalan Kartini Pematang Siantar,” kata Mega.
Menurut Mega, poster yang dicopot itu awalnya dipasang oleh sejumlah relawan untuk menyambut kunjungan Ganjar ke Kota Pematang Siantar.
“Sedih kita melihat perilaku aparat seperti ini. Tindakan mereka menurunkan poster-poster itu mencerminkan ketidaksukaan terhadap capres Ganjar. Ini tidak fair,” kata Mega.
Ekorina, warga Pematang Siantar lainnya, juga mengaku prihatin ketika melihat langsung aparat Satpol PP menurunkan poster Ganjar. Meski demikian, ia mengakui bahwa tidak semua alat peraga Ganjar diturunkan di Pematang Siantar.
“Sampai hari ini masih ada baliho Ganjar Pranowo terpasang di Jalan Sutomo, Pematang Siantar,” kata Ekorina kepada BBC News Indonesia pada Rabu (15/11) pagi.
Selain poster Ganjar, Eko juga melihat poster-poster calon presiden lainnya yang terpasang di Pematang Siantar, walau tidak banyak.
Saat berkunjung ke Pematang Siantar, Ganjar sendiri menanggapi santai ketika ditanya awak media soal posternya yang dicopot oleh Satpol PP.
“Siapa yang copot? Oh, tanya saja ke Satpol,” ucapnya saat ditemui di Museum Simalungun di Jalan Sudirman, Kota Pematang Siantar, Sabtu lalu.
Namun, Ketua DPC PDI-P Kota Pematang Siantar, Timbul Marganda Lingga mendatangi kantor Satpol PP untuk mengklarifikasi penurunan poster Ganjar.
“Kami melihat dinamika yang terjadi di lapangan kurang bagus, kurang sehat dalam menyambut pesta demokrasi yang akan digelar,” kata Timbul yang juga Ketua DPRD Pematang Siantar.
Timbul menyesalkan hanya poster Ganjar yang dicopot, sementara poster maupun alat peraga kampanye dari partai atau caleg lain tidak ikut diturunkan.
Ketika isu ini mengemuka, Kepala Satpol PP Pematang Siantar, Pariaman Silaen, enggan berkomentar.
Kekhawatiran kecurangan pemilu wajar?
Hurriyah menganggap kemunculan kecurigaan kecurangan dalam pemilu adalah hal wajar mengingat Jokowi sebagai presiden yang masih menjabat merestui Gibran untuk ikut berlaga di Pilpres 2024.
“Kenapa ada ketakutan kecurangan pemilu? Yang namanya presiden punya wewenang, keleluasaan untuk menggunakan anggaran, memobilisasi sumber daya, aparatur negara,” ujar Hurriyah kepada BBC News Indonesia.
“Orang khawatirnya presiden akan menggunakan sumber kekuasaan negara untuk memuluskan kontestasi salah satu pihak, yaitu anaknya.”
Menurut Hurriyah, kecurigaan ini kian lumrah ketika mengingat Jokowi sendiri yang sejak awal menyatakan bahwa ia akan melakukan cawe-cawe politik menjelang pemilu.
“Belum lagi orang melihat bagaimana putusan MK dianggap tidak lepas dari intervensi presiden karena ada hubungan kekerabatan,” ucapnya.
Khoirunnisa Agustyati juga mengamini kewajaran jika muncul kecurigaan dugaan kecurangan dalam gelaran pemilu kali ini.
“Di situasi sekarang, incumbent sudah tidak bisa maju, tapi incumbent-nya condong ke salah satu calon, itu bisa jadi pertanyaan, benar tidak ini netral? Bukan hanya ASN-nya harus netral, alat-alat negara ini juga harus netral,” katanya.
Apakah isu kecurangan dapat memicu ketegangan?
Meski kecurigaan ini dianggap wajar, Hurriyah menganggap dugaan kecurangan ini bisa dimanfaatkan salah satu kubu demi kepentingan politik mereka, yang pada akhirnya berpotensi memicu ketegangan.
“Apakah kemudian ini bisa memunculkan polarisasi? Lagi-lagi tergantung pada bagaimana para politisi ini memainkan narasi,” tuturnya.
Menurutnya, jika narasi ini tak terus dimainkan, maka potensi polarisasi sebenarnya tak sebesar Pilpres 2019 lalu. Namun, Hurriyah ragu isu ini tak akan digoreng oleh salah satu kubu.
“Ini yang saya agak ragu jika melihat perilaku politik aktor-aktor elektoral di Indonesia selama ini. Problemnya kan di 2024, tingkat kepastian di dalam kompetisinya begitu tinggi,” ucap Hurriyah.
Ia lantas membahas survei belakangan yang memang menunjukkan belum ada salah satu kandidat dengan perolehan suara unggul mutlak. Dalam kondisi seperti ini, para paslon membutuhkan strategi khusus untuk menggaet suara pemilih.
“Biasanya, dengan kondisi seperti ini, isu-isu yang paling mudah memainkan emosi massa itu isu-isu yang sifatnya memecah belah,” katanya.
Hurriyah pun mengendus kemungkinan PDIP memanfaatkan isu dugaan kecurangan ini. Ia mempertanyakan sikap PDIP benar-benar murni khawatir akan independensi pemilu atau ada udang di balik batu.
Ia kemudian mengingat kembali pernyataan Ketua DPP PDIP, Puan Maharani, ketika ditanya mengenai kemungkinan Gibran mendampingi Ganjar sebelum putra Jokowi itu menyeberang ke koalisi Prabowo.
“Kita mencermati hal tersebut. Kalau emang kemudian di MK-nya kemudian disetujui ada calon cawapres di bawah 40 tahun, ya bisa saja Mas Gibran yang maju,” kata Puan pada Agustus lalu, seperti dilansir Detikcom.
Hurriyah pun mempertanyakan kemurnian maksud PDIP terus membahas isu mengenai keputusan MK terkait batas usia capres.
“Sebenarnya pertanyaannya adalah apaka partai politik ini benar-benar punya perhatian yang tulus soal netralitas, independensi, integritas, kepatuhan kepada konstitusi atau ini persoalan karena konstelasi politiknya kemudian jadi berubah karena ada konflik kepentingan yang terjadi?”
Merespons kondisi ini, Khoirunnisa menilai PDIP sebenarnya bisa langsung melaporkan dugaan kecurangan itu ke Badan Pengawas Pemilu agar isu tak berlarut-larut.
“Kalau ada tuduhan-tuduhan, seharusnya dibawa ke tempat yang terang, dilaporkan saja sesuai mekanisme penanganan pelanggaran yang ada di Undang-Undang Pemilu,” tutur Khoirunnisa.
“Publik kan juga bertanya dan bisa mendapatkan jawabannya juga. Ini prosesnya benar-benar free and fair enggak?”
Meski berpotensi memicu ketegangan, polarisasi di Pilpres 2024 tak akan setajam di Pilpres 2019 atau Pilgub Jakarta 2017 menurut penelisikan Hurriyah.
Ia berpandangan polarisasi pada pilpres kali ini hanya kubu pendukung Jokowi dan PDIP. Namun, Hurriyah memperingatkan ketegangan dapat meningkat jika nantinya muncul sengketa hasil pemilu.
“Kekhawatiran orang kan sebenarnya ketika MK dituduh tak lagi bisa dipercaya sebagai Mahkamah Konstitusi, yang paling dikhawatirkan jika nanti ada banyak sengketa pemilu, di mana sengketa pemilu itu ranah kewenangan MK, bukan tidak mungkin terjadi konflik,” ucapnya.
Ia khawatir konflik itu dapat berujung pada bentrokan antar-pendukung. Lebih jauh, Hurriyah juga waswas nantinya tak ada pengakuan terhadap pemimpin politik terpilih.
“Kalau Prabowo dan Gibran menang, semua kubu bisa saja beranggapan itu kemenangan yang diperoleh secara tidak jujur, maka mereka akan menolak hasil pemilu. Begitu hasil pemilu ditolak, itu kan tidak legitimate,” katanya berandai.
“Pengakuan terhadap pemimpin politik yang sah mungkin saja tidak terjadi karena isu kecurangan semakin kuat.”
Minim etika politik dapat memicu konflik
Lebih jauh, Hurriyah juga menyoroti Mahfud yang menggaungkan dugaan kecurangan pemilu. Ia mempertanyakan posisi Mahfud yang juga berdiri di dua kaki, yaitu sebagai Menko Polhukam dan cawapres.
“Sekarang memang banyak sekali irisan konflik kepentingan karena 2024 ini menunjukkan betapa begitu banyak orang ingin berkuasa, tapi mereka tidak mengindahkan etika,” ujar Hurriyah.
“Di dalam kontestasi pemilu 2024, etika politik itu sudah tidak ada lagi di antara para politisi kita.”
Ia menjelaskan bahwa masalah etika ini sebenarnya tak melanggar undang-undang, tapi masalah kepatutan dalam berpolitik.
“Misalnya, ada pejabat negara membiarkan kerabatnya maju. Ada pejabat negara yang tidak mau mundur dari posisinya ketika sedang berkontestasi,” ucap Hurriyah.
“Ada pejabat negara terpilih yang tidak mau mundur dari partai politiknya ketika dia jelas-jelas dicalonkan oleh partai politik lain. Ada partai politik yang tidak memecat anggotanya, padahal anggotanya mencalonkan diri dengan partai politik lain.”
Menurutnya, sikap-sikap ini menunjukkan kebobrokan para politikus Indonesia yang dapat berdampak pada ketegangan di tengah masyarakat.
“Itu kan sebenarnya semuanya menunjukkan betapa kualitas moral politisi kita secara umum itu sangat bermasalah. Karena mereka punya kepentingan, mereka basis perilakunya berdasarkan kepentingannya saja,” katanya.
[ad_2]
Source link