[ad_1]
Aturan tentang batas usia dalam Undang-Undang Pemilu kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi. Seorang pemohon meminta agar syarat calon presiden maupun calon wakil presiden yang berusia di bawah 40 tahun harus memiliki pengalaman sebagai kepala daerah di tingkat provinsi.
Dalam gugatannya, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Brahma Aryana, mempermasalahkan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang telah ditambah normanya oleh MK pada putusan perkara No. 90/PUU-XXI/2023.
Putusan perkara nomor 90 itu membuka pintu bagi putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka menjadi bakal cawapres mendampingi Prabowo Subianto.
Selain itu, putusan nomor 90 itu juga menyebabkan Ketua MK Anwar Usman, yang merupakan ipar Jokowi dan paman Gibran, dinyatakan terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim MK.
Selain Brahma, Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar juga mengajukan uji formil terhadap putusan yang sama.
Adapun, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa penetapan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden akan dilaksanakan pada 13 November 2023, sehingga KPU membuka kesempatan perubahan nama pasangan calon hingga tanggal tersebut.
Di sisi lain, KPU telah resmi merevisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Pilpres, dengan memasukkan amar putusan nomor 90 MK, yaitu menambahkan “pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah.”
Lalu, akankah gugatan ini dan juga putusan Mahkamah Kehormatan MK (MKMK) mempengaruhi pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang diusung oleh Koalisi Indonesia Maju sebagai bakal capres-cawapres di Pemilu 2024?
Apa isi gugatan Brahma dan bagaimana jalannya pemeriksaan MK?
Brahma mengajukan permohonan pengujian materil Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang telah dimaknai atau ditambahkan normanya oleh MK melalui putusan nomor 90 sebagai “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Brahma menyatakan frasa “yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” bertentangan dengan UUD 1945.
Dia meminta agar frasa itu diubah menjadi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat provinsi”.
Permohonan Brahma selaras dengan dua pandangan hakim dalam putusan nomor 90 sebelumnya, yang diajukan Almas Tsaqibbirru.
Dalam putusan nomor 90 itu, dua hakim menyatakan cuncurring opinion, yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh. Mereka memaknai berpengalaman yaitu sebagai kepala daerah tingkat provinsi atau pada gubernur.
Dalam pemeriksaan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (08/11), yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, para hakim memberikan masukan dari kelengkapan data, penulisan gugatan dan kedudukan hukum.
Setelah mendengar segala masukan itu, kuasa hukum pemohon, Viktor Santoso Tandiasa mengatakan akan segera melakukan perbaikan dalam waktu cepat, termasuk memasukkan hasil putusan MKMK yang menyatakan terjadi pelanggaran kode etik berat dan menjatuhkan sanksi pemberhentian kepada Anwar Usman dari jabatan Ketua MK, saat memutus perkara nomor 90.
Pada kesempatan yang sama, Viktor bertanya pada hakim konstitusi, apakah putusan perkaranya dapat dilakukan secara cepat “karena tujuan kami ingin mendapatkan suatu kepastian hukum”.
“Saat ini sedang menjadi polemik di masyarakat, dimana legitimasi pemilu akan dipertanyakan terkait sanksi etik [MKMK] kemarin,” katanya di Gedung MK.
Mendengar itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan akan menjalankan persidangan secara normal, menegaskan pihak nya “tidak akan terdikte”.
“Tapi, silakan saja dan apa yang Anda inginkan. Maksudnya supaya juga dipertimbangkan percepatannya itu, nanti akan kami sampaikan ke hakim-hakim yang lain,” kata Suhartoyo.
Bagaimana nasib Prabowo dan Gibran?
Terlepas apa pun hasil putusan perkara batas usia yang saat ini tengah berlangsung di MK, pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti mengatakan pencalonan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabumin Raka, sudah tidak memiliki landasan legitimasi secara hukum.
Sehingga, menurutnya, Gibran kini tidak memenuhi syarat menjadi cawapres.
“Bahkan kalau pun tidak dikabulkan, atau dikabulkan lewat dari tanggal 13 November [batas penetapan pasangan calon], dengan putusan MKMK kemarin, Gibran sudah tidak punya landasan legitimasi, karena ada pelanggaran etik yang besar,” tegas Bivitri.
Bivitri kemudian melanjutkan bahwa tak adanya landasan legitimasi ini akan jadi “batu sandungan” bagi pasangan Prabowo-Gibran, bahkan mulai dari masa kampanye hingga nanti jika terpilih.
“Legitimasi Prabowo-Gibran tidak kuat karena basisnya adalah sebuah putusan yang ternyata kalau menggunakan logika hukum adalah cacat hukum,” kata Bivitri.
Mengapa cacat hukum? Bivitri menjelaskan MKMK tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan putusan nomor 90, melainkan menyatakan terjadi pelanggaran etik berat yaitu terjadinya benturan kepentingan.
“Dengan menggunakan logika hukum, berdasarkan putusan yang cacat hukum maka pencalonan itu juga tidak sah,” ujar Bivitri.
Maka untuk itu, untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, Bivitri mengatakan terdapat dua langkah yang harus dilakukan oleh MK.
Pertama adalah mempercepat pembahasan perkara-perkara batas usia yang kini sedang diperiksa. Percepatan itu dapat dilakukan secara hukum dan juga memiliki preseden di perkara sebelumnya.
“Secara hukum ini adalah pengujian norma, bukan seperti litigasi, tidak perlu didengar DPR, dan segala macamnya. Sepanjang hakim sudah memutuskan suatu argumentasi hukum untuk suatu perkara, bisa langsung diputus saja,” tambah Bivitri.
Bivitri mencontohkan permohonan yang diajukan oleh Refly Harun pada pemilu tahun 2009, meminta agar “saat datang ke TPS (tempat pemungutan suara) cukup hanya dengan KTP, tidak harus membawa formulir A5. Itu satu hari loh diputus oleh MK.”
Upaya kedua, tambah Bivitri, adalah MK menyatakan bahwa putusan dari perkara-perkara yang sedang berlangsung di MK itu berlaku sejak Pemilu 2024, walaupun proses pesta demokrasi sedang berlangsung.
“Itu lazim bagi MK menyatakan putusan berlaku sejak kapan. Makanya harus diputus sebelum 13 November, penetapan pasangan capres-cawapres… untuk memberikan kepastian hukum dalam Pemilu 2024,” ujar Bivitri.
Terkait dengan pandangan Bivitri itu, BBC News Indonesia telah menghubungi Komisioner KPU untuk meminta tanggapannya, namun hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan dari mereka.
Adapun, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa penetapan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden akan dilaksanakan pada 13 November 2023, sehingga KPU membuka kesempatan perubahan nama pasangan calon hingga tanggal tersebut.
“Sepanjang tidak ada perubahan apa-apa, batasnya 13 November 2023,” ujar Hasyim seperti dikuti dari kantor berita Antara.
Sebelumnya, Ketua Divisi Teknis KPU RI Idham Holik mengatakan bahwa pihaknya tetap menjalankan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 sebab hingga sampai kini tidak ada pembatalan dari putusan MK tersebut.
“Pasca putusan MKMK sampai saat ini tidak ada pembatalan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan KPU tidak memiliki kapasitas mengomentari putusan MKMK,” kata Idham kepada wartawan, Rabu (08/11).
Idham juga mengatakan bahwa Gibran telah memenuhi syarat sebagai bakal cawapres Prabowo dan kini semua pasangan calon hanya tinggal menunggu penetapan daftar calon tetap (DCT) capres-cawapres.
“Sudah memenuhi syarat, dan tinggal menunggu ditetapkan oleh KPU menjadi pasangan calon tetap dan sehari kemudian mengikuti pengundian nomor urut capres cawapres,” tuturnya.
Dia menyatakan bahwa tiga pasangan bakal capres dan cawapres telah memenuhi syarat dokumentasi administrasi pencalonan.
Seperti diketahui, penetapan DCT capres-cawapres akan dilakukan pada 13 November 2023. Kemudian, pada 14 November dilakukan pengundian nomor urut.
Selain itu, KPU juga telah secara resmi merevisi PKPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Pilpres, melalui PKPU Nomor 23 Tahun 2023, dengan memasukkan amar putusan MK nomor 90.
Dalam PKPU itu, dari yang awalnya berbunyi ” … berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”, berubah menjadi ” … berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah.”.
Ketua KPU Hasyim Asy’ari menandatangani perubahan ini pada 3 November 2023 lalu.
MKMK, ‘putusan itu berlaku untuk Pilpres 2029’
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie sebelumnya mengatakan jika ketentuan batas usia capres-cawapres kembali mengalami perubahan oleh MK, maka aturan itu baru akan berlaku pada Pilpres 2029 mendatang.
“Tentu saja permainan sudah jalan. Aturan main kalau diubah melalui putusan MK berlaku untuk pertandingan berikutnya 2029, kalau sekarang sudah jalan pertandingannya,” kata Jimly setelah membaca putusan pelanggaran etik terhadap Ketua MK Anwar Usman, Selasa (07/11).
“Ini perlu saya sampaikan agar memberi kepastian. Pakar analisanya macam-macam kan, cuma (berlaku 2029) untuk menimbulkan kepastian. Bangsa kita harus ada arah yang jelas,” ujarnya lagi.
Jimly juga mengatakan bahwa MKMK menyetujui bahwa hakim Anwar Usman untuk tidak diikutisertakan dalam putusan itu.
Selain itu, Jimly menegaskan bahwa UU yang telah mengalami perubahan karena putusan MK dapat diuji kembali.
MKMK telah menjatuhkan sanksi pemberhentian kepada Anwar Usman sebagai Ketua MK pada Selasa (07/11), setelah terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim MK terkait putusan kasus batas usia calon presiden.
“Menyatakan hakim terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi, sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, prinsip ketidakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan keseataraan, independensi dan kepantasan dan kesopanan,” kata Jimly Asshidiqqie saat pembacaan putusannya di Gedung MK, Jakarta, Selasa (07/11).
[ad_2]
Source link