[ad_1]
Sumber gambar, Antara Foto
Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan Presiden Joko Widodo dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, terkait kasus polusi udara Jakarta.
Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan Presiden Joko Widodo dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, terkait kasus polusi udara Jakarta. Pemerintah pun didesak segera menjalankan perintah pengadilan.
Dalam putusannya pada pekan lalu, MA menegaskan bahwa pemerintah tetap dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana putusan pengadilan sebelumnya.
“Amar putusan: tolak kasasi I & II,” demikian kutipan putusan kasasi nomor 2560 K/PDT/2023 itu, sebagaimana dilansir di situs resmi MA.
Salah satu penggugat yang tergabung dalam Koalisi IBUKOTA, Diya Farida, menyambut baik putusan MA ini. Ia pun mendesak pemerintah menjalankan putusan pengadilan sebelumnya dan tak lagi mengulur proses hukum.
“Kita kan sudah berperang dan bertarung sudah lama. Sampai di level kasasi pun masih kalah pihak pemerintah,” ucap Diya kepada BBC News Indonesia, Senin (20/11).
“Kami berharap ya sudah, pemerintah jangan lagi mengulur proses pengadilan. Jangan lagi mengelak. Tinggal jalani saja putusan pengadilan yang sudah dijatuhkan dari 2021.”
Apa isi putusan pengadilan?
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta menetapkan hukuman berbeda bagi tiap-tiap tergugat.
Presiden Jokowi dihukum untuk mengetatkan baku mutu udara ambien nasional sehingga cukup untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan, dan ekosistem, termasuk kesehatan populasi yang sensitif.
Baku mutu udara ambien nasional sendiri merupakan batas unsur pencemar dalam udara yang bisa ditoleransi.
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutananan, Siti Nurbaya Bakar, dihukum untuk melakukan supervisi terhadap Gubernur DKI, Banten, dan Jawa Barat dalam inventarisasi emisi lintas batas.
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, juga dihukum untuk mengawasi dan membina kinerja Gubernur DKI Jakarta dalam pengendalian pencemaran udara.
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, dihukum untuk menghitung penurunan dampak kesehatan akibat pencemaran udara di DKI Jakarta yang perlu dicapai. Hasil penghitungan ini lantas dijadikan dasar penyusunan strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara.
Sumber gambar, Antara Foto
Warga menuntut pemerintah memastikan udara bersih di Jakarta.
Khusus untuk Anies Baswedan, majelis hakim menetapkan sejumlah hukuman. Pertama, dia dihukum untuk mengawasi ketaatan setiap orang terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran udara atau dokumen lingkungan hidup.
Anies juga dihukum mengawasi ketaatan standar dan spesifikasi bahan bakar yang ditetapkan. Ia juga harus mengawasi kepatuhan atas larangan membakar sampah di ruang terbuka yang mengakibatkan pencemaran udara.
Lebih jauh, majelis hakim juga menghukum Anies untuk menjatuhkan sanksi terhadap setiap orang yang melanggar ketentuan pengendalian pencemaran udara.
Selain itu, Anies dihukum menyebarluaskan informasi pengawasan dan penjatuhan sanksi terkait pencemaran udara kepada masyarakat serta menetapkan baku mutu udara ambien daerah yang cukup untuk melindungi kesehatan.
Hukuman lain yang harus dijalankan Anies adalah menginventarisasi mutu udara ambien, potensi sumber pencemar udara, kondisi meteorologis dan geografis, serta tata guna tanah dengan mempertimbangkan penyebaran emisi dari sumber pencemar. Semua dilakukan dengan melibatkan publik.
Terakhir, Anies dihukum untuk menetapkan status mutu udara ambien daerah setiap tahun dan mengumumkannya kepada masyarakat. Ia juga harus menyusun dan mengimplementasikan strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara.
Apa desakan penggugat setelah putusan MA?
Setelah MA menolak kasasi Jokowi dan Siti Nurbaya, Diya Farida mendesak pemerintah untuk segera menjalankan putusan pengadilan, tak lagi mengulur proses hukum dengan mengajukan peninjauan kembali (PK).
“Kita kan sudah berperang dan bertarung sudah lama. Sampai di level kasasi pun masih kalah pihak pemerintah,” ucap Diya kepada BBC News Indonesia.
“Kita berharap ya sudah, pemerintah jangan lagi mengulur proses pengadilan. Jangan lagi mengelak. Tinggal jalani saja putusan pengadilan yang sudah dijatuhkan dari 2021.”
Menurutnya, pemerintah memang harus mengetatkan baku mutu udara nasional. Pengetatan ini tak hanya dari segi pengawasan penerapan aturan, tapi juga regulasi yang harus diperbarui secara berkala.
Diya menganggap jeda pembaruan regulasi pemerintah terkait polusi udara terlampau lama sehingga aturan tersebut tak lagi relevan dengan perkembangan aktivitas di Jakarta.
Ia menyoroti bahwa pemerintah baru mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada 2021 lalu, setelah Koalisi IBUKOTA mengajukan gugatan dua tahun sebelumnya.
Sebelum pembaruan itu, PP terakhir pemerintah yang mengatur tentang polusi udara dikeluarkan pada 1999 silam.
“Idealnya kalau mau bicara soal baku udara ambien itu harus ada revisi secara berkala, bukan belasan bahkan puluhan tahun, atau tunggu class action dulu,” ujar Diya.
Diya lantas menjabarkan bahwa regulasi harus diperbarui secara berkala karena dinamika kehidupan ibu kota yang bergerak begitu cepat.
“Ketika penduduk semakin banyak, aktivitas meningkat, butuh pengetatan. Butuh regulasi yang lebih memperketat segala sesuatu yang dilakukan,” tutur Diya.
Sumber gambar, Antara Foto
Polusi di Jakarta kian parah.
Ia kemudian mengambil contoh kebijakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menetapkan rekomendasi baku udara ambien setiap tahun. Diya berharap pemerintah Indonesia juga dapat memperbarui regulasi secara berkala.
“Misalnya, pemerintah sudah sepakat nih sama angka dari WHO, oke kita terapkan. Atau misalnya Indonesia merasa belum sampai untuk mencapai target setinggi WHO, setidaknya ada tahapan, ada timeline-nya,” katanya.
“Umpamanya, di 2021 angka kita sekian. Oke, misalnya lima tahun ke depan kita sudah harus bisa achieve baku mutu udara kita sekian. Itu kan bisa terlihat progresnya.”
Lebih jauh, Diya juga menegaskan bahwa ketika regulasi nantinya ditetapkan, aturan itu harus dijalankan dengan baik.
“Nah, permasalahannya itu juga kan setelah ada regulasi, apakah itu dijalankan dengan baik atau tidak?” tutur Diya.
“Ambil contoh uji emisi. Itu kan aturan sudah ada sejak lama, tapi sekarang mereka punya data sumber polusi tertinggi di Jakarta adalah transportasi. Kok bisa? Berarti ada yang salah dengan aturannya.”
Ia pun mendesak pemerintah untuk mengoreksi diri ketika membuat aturan baru, bukan melimpahkan kesalahan kepada warga.
“Pemerintah itu seperti tidak mau mengakui kesalahan mereka, tapi mereka lebih memilih untuk melimpahkan ke masyarakat. Ketika kemarin ramai (soal polusi) juga imbauannya warga jangan bakar sampah, warga naik kendaraan umum. Kenapa salah warga jadinya?” katanya.
Sumber gambar, NURPHOTO/GETTY IMAGES
Penggugat mendesak pemerintah memperbarui regulasi soal polusi udara secara berkala.
Di sisi lain, tindakan terhadap sektor industri yang memicu polusi udara sangat minim, walau sudah ada dalam beberapa tahun belakangan.
“Ada kan penutupan industri karena melanggar. Ya, kami senang, tapi kami berharap langkah-langkah ini tidak hanya untuk menenangkan warga saja. Kami berharap itu terus berjalan,” ujarnya.
Diya juga berharap putusan pengadilan ini dapat dijalankan dengan baik, bahkan ketika pemerintahan berpindah tangan setelah Pemilihan Umum Presiden 2024 mendatang.
“Kita juga harus mengingatkan bahwa gugatan yang kita layangkan pada 2019 lalu, itu tidak menempel pada personal, tapi ke jabatan. Jadi, mau siapa pun presidennya nanti, tetap harus menjalankan putusan pengadilan,” katanya.
Ia juga berharap tak ada lagi upaya banding dari pemerintah setelah proses peradilan panjang sejak 2019 lalu.
Bagaimana kronologi kasus ini?
Kasus ini bermula pada 4 Juli 2019, ketika 32 warga yang tergabung dalam Koalisi IBUKOTA menggugat beberapa pihak dalam pemerintahan, mulai dari Jokowi hingga Anies, terkait pencemaran udara di Jakarta.
Sidang perdana kemudian digelar pada Agustus 2019. Dalam amar gugatan yang diajukan, para warga itu menuntut pihak tergugat menurunkan tingkat pencemaran udara.
Salah satu anggota tim advokasi penggugat, Algiffari Aqsa, saat itu mengatakan tingkat pencemaran udara di Jakarta berpotensi merugikan 10 juta warga.
“Dalam penelitian kami, 51% penyebab penyakit paru-paru itu karena pencemaran udara dan kerugiannya bisa sampai Rp51 triliun satu tahun,” ujar Algiffari saat itu.
Setelah proses pengadilan selama dua tahun, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya memutuskan kemenangan bagi Koalisi IBUKOTA pada 16 September 2021.
Alih-alih menjalankan putusan pengadilan, para tergugat kecuali Anies mengajukan banding pada 30 September 2021.
Pada 17 Oktober 2022, Pengadilan Tinggi menolak banding tersebut. Pengadilan menguatkan putusan sebelumnya.
Namun, lagi-lagi pemerintah enggan menjalankan putusan pengadilan. Jokowi dan Siti Nurabaya pun mengajukan kasasi secara terpisah.
Siti melayangkan kasasi pada 13 Januari lalu, disusul Jokowi pada 20 Januari. MA akhirnya menolak kasasi tersebut pada pekan lalu.
[ad_2]
Source link